Tuban, 8 Agustus 2024 – Baru-baru ini, terjadi insiden yang melibatkan oknum LSM yang diduga melakukan penutupan tambang yang dianggap ilegal di kecamatan Rengel Kabupaten Tuban dan menyita kunci alat berat. Tidak hanya itu, oknum tersebut juga diduga meminta tebusan uang sebagai syarat untuk mengembalikan kunci alat berat tersebut. Tindakan seperti ini jelas melanggar hukum dan menciptakan keresahan di kalangan masyarakat, terutama di daerah yang terkena dampak.
Dalam perspektif hukum, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pemerasan, yang diatur dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini menyebutkan bahwa barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu, membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Selain itu, tindakan menyita kunci alat berat tanpa dasar hukum yang jelas juga dapat dianggap sebagai perampasan, yang dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan Pasal 365 KUHP. Tindakan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak citra LSM yang seharusnya berperan dalam menjaga dan mendukung kepentingan masyarakat dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks restoratif justice, yang diatur dalam Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Tindak Pidana dengan Pendekatan Keadilan Restoratif, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu kasus dapat diselesaikan melalui pendekatan ini. Pasal 5 Perkap tersebut menyebutkan syarat-syarat material untuk penerapan restoratif justice, termasuk di antaranya adalah tidak menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap masyarakat dan adanya persetujuan dari korban untuk menyelesaikan kasus secara damai.
Namun, menurut pandangan Aris, Ketua LSM PASUS, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum LSM dalam menutup tambang yang diduga ilegal dan menyita kunci alat berat dengan tujuan meminta tebusan uang tidak memenuhi syarat material untuk penyelesaian secara restoratif justice. Menurutnya, tindakan tersebut jelas merupakan pelanggaran hukum yang serius, tidak sekadar perselisihan kecil yang dapat diselesaikan melalui dialog dan mediasi.
“Restoratif justice adalah pendekatan yang mengutamakan pemulihan harmoni sosial dengan melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat dalam penyelesaian masalah. Namun, dalam kasus ini, tindakan pemerasan dan penggunaan kekerasan secara terang-terangan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar keadilan restoratif,” ujar Aris. “Oleh karena itu, setelah dilakukan penangkapan, oknum tersebut seharusnya tidak dibebaskan atau diselesaikan secara restoratif justice, melainkan diproses secara hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”
Pendapat Aris tersebut didukung oleh peraturan hukum yang ada, termasuk Pasal 5 Perkap No. 8 Tahun 2021, yang menyatakan bahwa tindakan yang menyebabkan ketidaknyamanan yang luas atau merusak tatanan sosial tidak layak diselesaikan melalui pendekatan restoratif justice. Tindakan pemerasan dan kekerasan yang dilakukan oleh oknum LSM tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian bagi pihak yang menjadi korban, tetapi juga merusak tatanan hukum dan ketertiban masyarakat secara umum.
Kasus ini menjadi peringatan bagi semua pihak, terutama bagi mereka yang terlibat dalam LSM, bahwa setiap tindakan yang diambil harus selalu berdasarkan hukum dan tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat. “LSM seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan keadilan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat dengan cara-cara yang sah dan bermartabat, bukan sebaliknya,” tambah Aris.