Dasar Hukum dan Prosedur Pembatalan
Oleh Aris, Ketua LSM PASUS

Dalam praktik hukum, mendapatkan persetujuan dengan cara berbohong merupakan tindakan yang tidak sah dan dapat dianggap batal. Tindakan ini tidak hanya merugikan pihak yang ditipu, tetapi juga merusak integritas dan kepercayaan dalam hubungan hukum. Artikel ini akan membahas dasar hukum, prosedur pembatalan, serta pendapat dari para ahli hukum mengenai hal ini.

Dasar Hukum

  • Pasal 1321 Kuhperdata Menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak sah jika terjadi karena kekhilafan, penipuan, atau paksaan. Penipuan (dolus) merupakan salah satu alasan yang dapat menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum.
  • Pasal 1320 KUHPerdata mengatur syarat sah perjanjian harus memenuhi unsur sebagai berikut : kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, suatu sebab yang tidak terlarang.
  • Pasal 378 KUHP mengatur bahwa “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, baik dengan tipu muslihat, maupun dengan rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Prosedur Pembatalan

  1. Pengajuan Gugatan ke Pengadilan :
    Pihak yang merasa dirugikan harus mengajukan gugatan pembatalan ke pengadilan negeri setempat. Dalam gugatan tersebut, penggugat perlu membuktikan adanya unsur penipuan yang mempengaruhi persetujuan.
  2. Proses di Pengadilan :
    Pengadilan akan memeriksa bukti-bukti dan saksi yang diajukan oleh penggugat. Jika terbukti bahwa persetujuan tersebut diperoleh dengan cara penipuan, pengadilan dapat memutuskan untuk membatalkan perjanjian tersebut.
  3. Putusan Pengadilan :
    Setelah melalui proses persidangan, pengadilan akan memberikan putusan yang menyatakan batal atau tidaknya persetujuan tersebut. Jika dinyatakan batal, perjanjian dianggap tidak pernah ada, dan pihak-pihak dikembalikan ke posisi sebelum perjanjian dibuat.

Pendapat Para Ahli

  • Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.:
    Dalam bukunya “Hukum Perjanjian Indonesia,”beliau menegaskan bahwa penipuan dalam memperoleh persetujuan merupakan dasar yang kuat untuk membatalkan perjanjian karena merusak kebebasan berkontrak dari pihak yang dirugikan. Penipuan (dolus) menghilangkan keabsahan persetujuan karena merusak kebebasan dan kesadaran pihak yang menandatangani perjanjian.
  • Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H.:
    Dalam “Kompendium Hukum Perikatan,”beliau menjelaskan bahwa penipuan (dolus) adalah bentuk perbuatan melawan hukum yang merusak asas kepercayaan dalam perjanjian. Oleh karena itu, perjanjian yang dibuat dengan dasar penipuan dapat dibatalkan.
  • Prof. Dr. Subekti, S.H.:
    Dalam bukunya “Pokok-Pokok Hukum Perdata,”beliau menegaskan bahwa unsur penipuan menghilangkan kesepakatan yang sebenarnya, karena pihak yang ditipu tidak memberikan persetujuannya secara bebas dan sadar. Hal ini menjadikan perjanjian yang diperoleh melalui penipuan tidak sah dan dapat dibatalkan.
  • Prof. Dr. Munir Fuady, S.H., LL.M.:
    Dalam “Pengantar Hukum Bisnis,”beliau berpendapat bahwa setiap perjanjian yang dibuat dengan cara penipuan tidak memiliki kekuatan hukum yang sah. Pihak yang merasa dirugikan memiliki hak untuk menuntut pembatalan perjanjian di pengadilan.

Sebagai Ketua LSM PASUS, saya menegaskan bahwa memperoleh persetujuan melalui kebohongan adalah tindakan yang tidak etis dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum. Tindakan ini tidak hanya merugikan pihak yang ditipu, tetapi juga merusak integritas hukum dan kepercayaan dalam hubungan sosial dan bisnis. Kami, di LSM PASUS, berkomitmen untuk mengawasi dan mendukung masyarakat dalam melawan praktik penipuan yang merugikan. Kami mendorong masyarakat untuk melaporkan setiap tindakan penipuan dan ketidakadilan agar keadilan dapat ditegakkan.

Maka pendapat Aris Ketua LSM PASUS Bahwa Meminta persetujuan dengan cara berbohong dapat dikatakan batal karena adanya unsur penipuan. Proses pembatalannya dilakukan melalui gugatan ke pengadilan dengan membuktikan adanya penipuan yang mempengaruhi persetujuan. Dasar hukum yang relevan adalah KUHPerdata dan KUHP, dan pendapat dari para ahli hukum seperti Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., Prof. Dr. Subekti, S.H., dan Prof. Dr. Munir Fuady, S.H., LL.M., mendukung pandangan ini.

Oleh : Aris Ketua LSM PASUS